Minggu, 28 Februari 2010

KEMISKINAN DALAM PANDANGAN PEKERJAAN SOSIAL

A. Pendahuluan
Kemiskinan merupakan kajian yang tidak habis untuk dibahas karena salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kemiskinan selalu menjadi topik menarik dalam berbagai diskusi kajian akademis maupun praktis bahkan menjadi bahasan politis baik ditingkat lokal, regional, nasional bahkan internasional. Kemiskinan merupakan konsep dan fenomena yang berwayuh wajah, bermatra multi dimensial (Suharto 2009). Pembahasan selalu terfokus bagaimana memahami konsep kemiskinan itu dan bagaimana menurunkan angka-angka kemiskinan dengan berbagai indikatornya.
Kondisi kesejahteraan sosial dewasa ini dibuktikan dengan tingginya angka kemiskinan, angka pengangguran, angka putus sekolah dan meningkatnya jumlah anak kekurangan gizi. Bahkan saat ini kondisi kemiskinan sangat memprihatinkan, dimana telah terjadi hal-hal yang sangat tidak manusiawi seperti maraknya penjualan bayi bahkan penjualan janin yang semuanya disebabkan oleh tekanan ekonomi atau kemiskinan.
Keberhasilan program penanggulangan kemiskinan sangat ditentukan oleh desain program yang mampu mendorong meningkatnya keberdayaan masyarakat. Hingga saat ini belum ditemukan suatu rumusan maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan sempurna. Tidak ada konsep tunggal tentang kemiskinan yang dapat digunakan untuk menurunkan angka kemiskinan, sehingga strategi penanganan kemiskinan masih harus terus menerus dikembangkan (Suharto, 2009,138). Untuk itu peran pekerja sosial menjadi penting dalam mengembangkan metode praktek yang sesuai.


B. Kemiskinan
Kemiskinan memiliki defenisi berbeda bergantung pada cara pandang dan indikatornya. Secara tradisional kemiskinan sering dipandang sebagai ketidakmampuan orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling mendasar. Ketidakmampuan ini terjadi baik karena faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kondisi diri orang tersebut, sedangkan faktor eksternal berhubungan dengan hal-hal di luar diri orang miskin.
Kemiskinan tidak hanya dipahami sebagai ketidakmampuan ekonomi tetapi juga kegagalan dalam pemenuhan hak-hak dasar manusia untuk dapat hidup layak dan bermartabat. Dari perspektif manapun kita melihat kemiskinan, satu hal yang harus disadari adalah bahwa kemiskinan merupakan fenomena multidimensi. Kemiskinan bukan hanya soal ekonomi, tetapi menyangkut kehidupan orang dengan mata pencahariannya (internal) dan sistem di luar dirinya (eksternal) yang menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Maka ketika kita akan melakukan pertolongan bagi orang miskin, semua aspek kehidupan mereka harus disentuh mulai dari aspek personal hingga aspek global, mulai dari dimensi ekonomi hingga dimensi politik, sosial, teknologi serta psikologi. Dengan demikian, uang saja tidak cukup untuk menghapuskan kemiskinan. Diperlukan upaya lebih besar yang menyangkut aspek lain dalam kahidupan seperti kesehatan, pendidikan, kemandirian, pengembangan jaringan, penguatan jaringan dan lain-lain.
Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya. Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan dipandang sebagai suatu peristiwa penolakan dan tidak terpenuhinya hak. Konsep ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, konsep ini memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghargai, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin tersebut.
Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. World Bank (2008) membagi dimensi kemiskinan ke dalam empat hal pokok, yaitu lack of opportunity, low capabilities, low level security, dan low capacity. Kemiskinan dikaitkan juga dengan keterbatasan hak-hak social, ekonomi, dan politik sehingga menyebabkan kerentanan, keterpurukkan, dan ketidakberdayaan. Meskipun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan, yang semuanya berada dalam lingkungan dimensi ekonomi.
Kemiskinan menurut Suparlan (1995) didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Ellis (1984:242-245) menyatakan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumber daya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.
Kemiskinan merupakan konsep dan fenomena yang berwayuh wajah, bermatra multidimensional. SMERU, misalnya, menunjukkan bahwa kemiskinan memiliki beberapa ciri (Suharto et.al., 2004:7-8):
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan).
2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga)manusia dan keterbatasan sumber alam.
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal
5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam.
6. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat
7. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan
8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).

Kemiskinan terjadi sepanjang sejarah kehidupan manusia, bahkan diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya sehingga menjadi siklus kemiskinan. Menurut Bagong dan Karnaji (2005:7) akar penyebab masalah kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu:
a. Kemiskinan alamiah, yakni kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber-sumber daya yang langka jumlahnya dan atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Artinya faktor-faktor yang menyebabkan suatu masyarakat menjadi miskin adalah secara alami memang ada, dan bukan bahwa akan ada kelompok atau individu di dalam masyarakat tersebut yang lebih miskin dari yang lain. mungkin saja dalam keadaan kemiskinan alamiah tersebut akan terdapat perbedaan-perbedaan kekayaan, tetapi dampak perbedaan tersebut akan memperlunak atau dieliminasi oleh adanya pranata-pranata tradisional, seperti pola hubungan patron client, jiwa gotong royong, dan sejenisnya fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial.
b. Kemiskinan buatan, yakni kemiskinan yangterjadi karena sturktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakt tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Dengan demikian sebagian anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakt tersebut bila di bagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan. Dari uraian ini maka dapat disederhanakan, yang menekankan bahwa penyebab kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi internal factor dan external faktor.

C. Pekerjaan Sosial dan kemiskinan
Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan individual-struktural (Suharto, 2005). Berdasarkan perspektif ini, ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:
1. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
2. Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta hurup,).
3. Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahhkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.
Pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok, dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut (Zastrow, 1985 dalam Huraerah A, 2006). Dari defenisi ini dapat diketahui bahwa fokus utama pekerjaan sosial adalah pada peningkatan keberfungsian sosial (social fungtioning) orang-orang di dalam situasi-situasi sosial mereka.
Keberfungsian sosial seseorang secara sederhana dapat didefenisikan sebagai kemampuan seseorang dalam melaksanakan fungsi sosialnya atau kapasitas seseorang dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan status sosialnya.
Dalam perpsektif profesi pekerjaan sosial, orang miskin adalah orang yang mengalami disfungsi sosial, karena ia tidak mampu melakukan tugas pokoknya dengan baik, yaitu tugas dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan.
Pekerjaan sosial sebagai profesi utama dalam usaha kesejahteraan sosial memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengatasi masalah kemiskinan. Tugas dan tanggung jawab pekerjaan sosial adalah memperbaiki dan meningkatkan kemampuan masyarakat miskin, agar mereka dapat berfungsi sosial atau dapat menjalankan tugas-tugas kehidupannya dengan baik, yakni tugas dalam memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Selain itu, pekerjaan sosial juga memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan situasi-situasi sosial yang kondisif bagi kehidupan mereka. Situasi-situasi sosial yang dimaksud adalah terciptanya peluang dan kesempatan usaha, terbukanya akses dan jaringan usaha/kerja, adanya jaminan usaha dan informasi pasar. Dalam konteks ini, pendekatan pekerjaan sosial dalam menangania masalah kemiskinan tidak hanya diarahkan kepoada si klien (masyarakat miskin), tetapi juga ditujukan kepada situasi-situasi sosial yang mempengaruhi kehidupan mereka. Hal tersebut didasari oleh pendekatan pekerjaan sosial yang senantiasa berorientasi pada sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya (person-in-enviranment dan person-in-situation).
Keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi pekerja sosial karena merupakan pembeda antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya. Oleh karena itu, pendekatan pekerjaan sosial dalam menangani kemiskinan juga pada dasarnya harus diarahkan untuk meningkatkan keberfungsian sosial (social functioning) masyarakat miskin yang dibantu.
Konsep keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa klien adalah subyek pembangunan; bahwa klien memiliki kapabilitas dan potensi yang dikembangkan dalam proses pertolongan, bahwa klien memiliki dan atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada disekitarnya.
Indonesia sebagai negara yang jumlah penduduk miskinnya masih besar membutuhkan peran profesi pekerja sosial untuk membantu mereka agar bisa keluar dari kondisi kemiskinannya. Peran pekerja sosial yang diharapkan adalah memperbaiki kesalahan cara pandang kemiskinan serta memperbaiki dan menyempurnakan program-program penanggulangan yang selama ini banyak mengalami kegagalan.
C. Penutup
Masalah kemiskinan merupakan permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia dan merupakan masalah yang kompleks, sehingga membutuhkan keterlibatan berbagai pihak dalam penanganannya. Masalah ini dari dahulu sampai sekarang tetap menjadi isu sentral di Indonesia.
Pengembangan masyarakat merupakan metode yang cukup efektif untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan atau paling tidak mencegah munculnya masalah-masalah turunan dari kemiskinan, seperti kekurangan gizi, putus sekolah, anak terlantar, prostitusi, kriminalitas dan laian-lain. Profesi pekerjaan sosial menjadi salah satu profesi yang dapat membantu guna peningkatan keberfungsian sosial si miskin ( individu maupun kelompok).




Daftar Pustaka

Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial (2006), Kemiskinan Dalam Perspektif Pekerjaan Sosial, Instalasi Penerbitan STKS Press, Bandung
Suharto, Edi, (2009), Kemiskinan & Perlindungan Sosial di Indonesia, Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan, Bandung: Alfabeta

CITA-CITA INDONESIA MENJADI NEGARA KESEJAHTERAAN

CITA-CITA INDONESIA MENJADI NEGARA KESEJAHTERAAN

1. Pengertian Negara Kesejahteraan
Negara Kesejahteraan (welfare state) adalah sistem yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) dalam menjamin kesejahteraan sosial secara terencana, melembaga, dan berkesinambungan. Bentuk perlindungan negara mencakup jaminan sosial dasar yang melindungi warga negara dari risiko kehilangan pendapatan karena sakit, kematian, menganggur, kecelakaan kerja atau kehamilan.
2. Model Negara Kesejahteraan
Model negara kesejahteraan dilihat dari besarnya anggaran negara untuk jaminan sosial, dapat diurutkan ke dalam empat model, yakni:
1. Model universal, model ini pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata baik kaya atau miskin.
2. Model institusional, dalam model jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
3. Model residual, yaitu dimana jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial swasta.
4. Model minimal Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta yang mampu mengiur.
3. Amanat Konstitusi
Saat Negara Indonesia didirikan, bertekat untuk mewujudkan cita-cita bangsa yaitu kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cita -cita tersebut dirumuskan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dimana kewajiban pemerintah adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih lanjut dalam batang tubuh dimuat tentang hak warga negara untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27) dan jaminan hak mendapatkan pendidikan. Demikian pula pada pasal 33 yang memberi kekuasaan bagi pemerintah untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam yang penting untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan memberikan jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak terlantar. Namun demikian, amanat konstitusi tersebut belum dipraktekan secara konsekuen.



4. Realita
Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia belum terlaksana sebagaimana diamanatkan dalam Undang-ungang Dasar 1945, baik pada masa Orde Baru maupun era reformasi saat ini. Penanganan masalah sosial masih belum menyentuh persoalan mendasar. Program-program jaminan sosial masih bersifat parsial dan karitatif serta belum didukung oleh kebijakan sosial yang mengikat. Program penanganan sosial dianggap sebagai program yang konsumtif, sehingga tidak heran di beberapa daerah anggaran untuk pembangunan sosial relatif sangat kecil. Sehingga jika dilihat dari model negara kesejahteraraan, maka Indonesia masuk kategori model keempat yaitu model minimal.
Masalah utama kita sekarang adalah kebijakan ala negara kesejahteraan yang diterapkan secara lokal di suatu daerah sangat mencederai prinsip keadilan. Dengan adanya undang-undang otonomi daerah, memberi kebebasan bagi daerah untuk menentukan kebijakan sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing, sehingga dibeberapa daerah seperti di Sumatera Selatan memperoleh pendidikan dan pengobatan gratis, di Provinsi Papua diterapkan pengobatan gratis bagi masyarakat asli Papua. Hal ini menyebabkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia semakin jauh, dan cita-cita menjadi negara kesejahteraan juga semakin jauh.

















DAFTAR PUSTAKA

Ife, Jim & Frank. T, (2008), Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi; Community Development, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suharto, Edi, (2005), Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta
Suharto, Edi, (2007), Kebijakan Sosial - Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta
www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo-40 .htm
www.policy.hu/suharto/naskah PDF/Reinventing Depsos pdf
www.watabuni.com/features/kapitalisme dan negara kesejahteraan

ISTANA DALAM PENJARA

ISTANA DALAM PENJARA

A. Pendahuluan

Pembangunan sosial adalah sebuah strategi pembangunan yang pro-kerakyatan, anti kemiskinan dan anti kesenjangan. Menurut Conyers (1982, dalam Suharto, 2005) ada tiga karakteristik utama pembangunan sosial, yaitu pemberian pelayanan sosial, pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat.
1. Pembangunan sebagai pemberian pelayanan sosial yang mencakup program nutrisi, kesehatan, pendidikan, perumahan, dsb. Secara keseluruhan memberikan kontribusi kepada perbaikan standar hidup masyarakat. Indikator keberhasilan pembangunan sosial dalam konotasi ini antara lain adalah angka harapan hidup, angka kematian bayi, morbiditi, angka kemampuan membaca dan menulis, dsb. Dalam pengertian ini pembangunan sosial berorientasi pada kesejahteraan (wel-fare oriented).
2. Pembangunan sosial sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan sosial, keamanan dan ketentraman hidup, kemandirian keluarga dan masyarakat (self-reliance), harga diri (self-esteem), kebebasan dari dominasi (liberation), hidup sederhana (plain living).
3. Pembangunan sosial sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengambil keputusan dan mengaktualisasikan diri mereka. Dalam kaitan ini, pembangunan sosial terkait dengan upaya pemberdayaan (empowerment).
Dalam pelaksanaan pembangunan sosial untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan khususnya keadilan sosial, telah terjadi penyimpangan yakni adanya diskriminasi terhadap para tahanan wanita yang ada di Rumah Tahanan (Rutan) Khusus Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur Minggu. Hal ini dilakukan oleh petugas di rumah tahanan tersebut dengan memberikan pelayanan khusus bagi tahanan yang mempunyai uang dengan memberikan tempat khusus dan dilengkapi dengan peralatan yang tergolong mewah yang layaknya disebut sebagai hotel berbintang lima.


B. Issu Istana dalam penjara
Salah satu issu yang mampu merebut perhatian publik belum lama ini adalah adanya Inspeksi mendadak atau sidak yang dilakukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum ke Rumah Tahanan (Rutan) Khusus Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur Minggu. Hasil inspeksi tersebut menunjukkan kepada semua orang bahwa dalam pelayanan di lembaga pemasyarakatan telah terjadi diskriminasi atau perlakuan khusus bagi orang-orang tertentu.
Temuan fasilitas mewah di sel penjara wanita yang dihuni Arthalyta Suryani dan Limarita alias Aling dan sejumlah napi wanita lainya membuat orang geram. Fasilitas yang dinikmati Ayin seperti kamar hotel bintang lima, karena dalam ruangan tersebut ditemukan mulai dari Air Conditioner, televisi, telepon, internet, pemandian panas, kasur yang empuk, makanan lezat dan bahkan sampai ruang karaoke. Selain itu disebutkan bahwa Arthalyta Suryani juga memiliki ruang bimbingan kerja yang digunakan untuk menjalankan usahanya. Ini artinya bahwa sekalipun ia berada ditahanan, namun hal tersebut tidak mengganggu dalam menjalankan usahanya.
Ketika Satgas Anti Mafia Hukum melakukan Inspeksi mendadak, terlihat Ayin sedang melakukan perawatan wajah di dalam selnya yang disulap menjadi ruang pribadi yang sebenarnya adalah ruang administrasi LP Wanita, Pondok Bambu.
Selain menemukan perlakuan khusus kepada Artalyta, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum juga menemukan kasus yang sama di blok lain yaitu bagi Aling, terpidana kasus narkotika. Dalam ruangan tersebut bahkan disebutkan memiliki fasilitas karaoke, televisi, dan ruang lebih besar. Hal ini semakin memperjelas bahwa pelayanan dalam penegakan hukum tidak seperti apa yang diharapkan. Tentu kejadian ini telah menimbulkan ketidakpercayaan rakyat Indonesia terhadap penegak hukum.


Artalyta Suryani alias Ayin adalah terpidana yang divonis lima tahun penjara karena memberikan uang sekitar 660 ribu dolar AS kepada jaksa Urip Tri Gunawan dan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi seperti diatur dalam pasal 5 ayat (1) b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perkara Ayin tersebut diputus pada 4 November 2008.
Pelayanan yang diperoleh oleh Ayin dan Aling sangat berbeda dengan apa yang dialami oleh sebagian besar penghuni rumah tahanan lainnya. Dalam Beberapa sel terdapat orang yang tidur hanya dengan beralaskan koran dan makan nasi aking, ada juga orang yang harus tinggal berdesak-desakan karena ruangan yang tidak memadai dibanding dengan jumlah penghuni.
Para tahanan di rumah tahanan ini mengalami diskriminasi dalam mendapatkan pelayanan maupun fasilitas. Pelayanan khusus atau istimewa ini bisa didapatkan oleh siapa saja sepanjang mampu memberikan imbalan sesuai permintaan pihak rutan. Itu artinya bahwa siapa yang mampu membayar akan dapat menikmati hidup yang lebih baik. Dengan adanya kondisi yang demikian, maka kehidupan di rutan dapat dikatakan seperti transaksi dagang, yaitu terjadi tawar menawar demi memdapatkan pelayanan yang lebih baik.
Indonesia adalah negara hukum, itu artinya bahwa siapa pun yang bersalah tentu harus mendapat hukuman. Namun pada prakteknya hukum ditegakkan bergantung pada kepentingan bukan pada rasa keadilan. Selama ini rakyat berharap, pemerintah dapat menegakkan hukum dan peradilan, tanpa pandang bulu sehingga tidak ada pendiskriminasian dalam hal pemberian hukuman.
Namun pada kenyataan yang terjadi perlakuan istimewa itu sebagai modus di penjara. Fenomena ini bukan sekadar hubungan take and give, tapi sudah menjadi ajang mencari kekayaan. Maka terbongkarlah borok seperti yang terjadi di Rutan Pondok Bambu. Beberapa tahanan wanita hanya memindahkan tempat tidur dari kamar pribadi di rumahnya menjadi kamar sangat pribadi di rutan.
Saat ini rakyat sedang menuntut keadilan hukum dari pemerintah, dan tugas pemerintah untuk mewujudkannya. Pemerintah harus dapat mengembalikan kepercayaan rakyat yang kini sudah semakin memudar. Pemberian ruang tahanan istimewa seperti yang terjadi pada Artalyta Suryani dan Limarita seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan bagi para penegak hukum di negara kita untuk dapat bersikap tegas lagi. Jangan sampai kejadian seperti itu terulang kembali.
Di sisi lain, pemerintah juga harus dapat melakukan intropeksi terhadap beberapa kelemahan dalam penegakan hukum yang selama ini terjadi kalau mau kejadian seperti itu tidak terulang lagi. Kalau orang seperti Artalyta Suryani bisa menggunakan kekayaan yang dimilikinya untuk menyuap para petugas di Lapas, berarti ada yang salah dengan sistem kepengawasan yang selama ini terjadi di seluruh Lapas yang ada di Indonesia. Kenapa kejadian itu bisa terjadi, mungkin juga bisa disebabkan oleh gaji para petugas Lapas yang rendah sehingga mereka menjadikan para terpidana korupsi seperti Artalyta Suryani sebagai tambang uang untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Dalam kondisi yang seperti ini, keduanya sama-sama diuntungkan dan keduanya sama-sama saling membutuhkan. Terpidana membutuhkan kenyamanan dengan pemberian fasilitas ruangan yang mewah, sedangkan para petugas Lapas membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Inilah yang harus kita sadari. Faktor kesulitan ekonomi sering membuat kita lupa diri. Segala macam cara untuk mengatasinya kerap dilakukan. Tidak peduli perbuatan tersebut melanggar hukum atau tidak. Selama perbuatannya tidak diketahui para penegak hukum, mereka akan terus melakukannya.
C. Analisis kebijakan Sosial
Kebijakan dan pembangunan adalah dua konsep yang terkait. Sebagai sebuah proses peningkatan kualitas hidup manusia, pembangunan adalah konteks dimana kebijakan beroperasi. Sementara itu kebijakan yang menunjuk pada kerangka kerja pembangunan, memberikan pedoman bagi pengimplementasian tujuan-tujuan pembangunan ke dalam berbagai program dan proyek.
Dalam konteks pembanguan sosial, kebijkan sosial merupakan suatu perangkat, mekanisme, dan sistem yang dapat mengarahkan dan menterjemahkan tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan sosial senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan sosial mengandung dua pengertian yang saling terkait, yaitu : memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial.
Tujuan pemecahan masalah mengandung arti mengusahakan atau mengadakan perbaikan karena sesuatu keadaan yang tidak diharapkan seperti adanya diskriminasi atau perlakuan yang berbeda seperti terhadap para tahanan wanita di Rumah Tahanan (Rutan) Khusus Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur Minggu. Adapun tujuan pemenuhan kebutuhan mengandung arti menyediakan pelayanan-pelayanan sosial yang diperlukan sebagaimana seharusnya. Secara rinci dapat disebutkan bahwa tujuan kebijakan sosial adalah :
• Mengantisipasi, mengurangi, atau mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
• Memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang tidak dapat mereka penuhi secara sendiri-sendiri melainkan harus melalui tindakan kolektif.
• Meningkatkan hubungan intrasosial manusia dengan mengurangi kedisfungsian sosial individu atau kelompok yang disebabkan oleh faktor-faktor internal-personal maupun eksternal-struktural.
• Meningkatkan situasi dan lingkungan sosial ekonomi yang kondusif bagi upaya pelaksanaan peranan-peranan social dan pencapaian kebutuhan masyarakat sesuai dengan hak, harkat dan martabat kemanusiaan.
• Menggali, mengalokasikan dan mengembangkan sumber-sumber kemasyarakatan demi tercapainya kesejahteraan sosial dan keadilan sosial.
Agar penanganan masalah diskriminasi bagi tahanan yang ada di rumah tahanan, maka kiranya perlu dilakukan langkah perbaikan sebagai berikut:
1. Melakukan sidak sebagaimana yang terjadi di Pondok Bambu, terhadap semua lembaga pemasyarakatan yang terindikasi kuat sarat dengan mafia hukum.
2. Memberikan sanksi secara tegas kepada para pengelola Lembaga Pemasyarakatan yang terlibat dalam pemberian fasilitas mewah kepada para napi. Mulai dari teguran, peringatan, atau sanksi hukuman dan bahkan bila perlu pemberhentian secara tidak hormat. Sehingga dengan demikian, maka akan tercipta efek jera terhadap mereka yang sudah terbiasa kongkalikong dengan para napi, dengan demikian hal tersebut tidak terulang kembali.

D. Rekomendasi Kebijakan
Setelah mengakaji tentang permasalahan di rumah tahanan wanita, maka rekomendasi yang dapat diberikan adalah : penegakan kebijakan tentang anti-diskriminasi dan anti-KKN, penguatan dana dan SDM, dan pengawasan melekat di rumah tahanan. Dalam hal ini perlu dilakukan :
1. Penegasan bagi petugas di rumah tahanan bahwa seluruh tahanan mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlakuan atau pelayanan.
2. Pemberian tindakan yang tegas atau sanski terhadap pegawai yang melakukan persekongkolan
3. Memperhatikan tingkat kesejahteraan pegawai yang ada dan penguatan dana guna operasional rumah tahanan
4. Peningkatan SDM di rumah tahanan, sehingga mampu melakukan tugas dengan baik sebagaimana tertuang dalam peraturan-peraturan yang ada.
5. Perlu melakukan pengawasan oleh pihak terkait, sehingga masalah diskriminasi dalam rumah tahanan tidak terjadi lagi.

E. Kesimpulan
Permasalahan yang terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) Khusus Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur Minggu, memperlihatkan bahwa pembangunan sosial sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan sosial belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Dimana dalam pelaksanaannya telah terjadi diskriminasi terhadap para tahanan wanita antara mereka yang mampu membayar permintaan petugas rutan dengan mereka yang tidak mampu membayar. Dalam hal ini hukum tidak lagi ditegakkan sebagaimana mestinya. Untuk itu perlu segera dilakukan langkah-langkah penanganannya dan selanjutnya dilakukan pengawasan agar hal tersebut tidak terulang kembali.
DAFTAR PUSTAKA


Suharto, Edi, (2005), Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta
Suharto, Edi, (2007), Kebijakan Sosial - Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta
Suharto, Edi, (2009), Kemiskinan & Perlindungan Sosial di Indonesia, Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan, Bandung: Alfabeta
www.detik.com , Selasa 12 Januari 2010, Sel Mewah Ayin Cs.

Rabu, 24 Februari 2010

JARINGAN SOSIAL KELUARGA PAK ADI












Keterangan :
: Mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan keluarga
: Mempunyai hubungan yang dekat dengan keluarga
: Mempunyai hubungan tidak dekat dengan keluarga


Kondisi Keluarga
Keluarga Adi (nama samaran) adalah keluarga tidak mampu, mereka tinggal di rumah kontrakan ukuran 3 x 3 m² yang harus dibayar sebesar Rp. 300.000 per bulan. Keluarga ini mempunyai enam orang anak. Saat ini yang menjadi tanggungan keluarga adalah empat orang anak. Kepala keluarga tidak mempunyai penghasilan tetap, biasanya dia bekerja sebagai seorang sopir, akan tetapi akhir-akhir ini berhenti karena tidak mempunyai SIM. Sedangkan untuk mengurus SIM keluarga ini tidak mempunyai uang. Karena berhenti menjadi sopir, pak Adi biasa membantu di bengkel dan penghasilan per bulan paling banyak Rp. 500.000. Ibu keluarga juga tidak mempunyai penghasilan tetap, biasanya mendapat uang dengan memijit dan ngelulur.
Kondisi yang sedang dialami saat ini adalah bahwa ibu keluarga dalam keadaan sakit karena ada kanker dalam kandungan yang menurut dokter harus segera dioperasi. Akan tetapi karena tidak mempunyai biaya, hingga saat ini ibu tersebut belum dioperasi.
Selain permasalahan di atas, salah satu anak dari keluarga berhenti sekolah karena tidak mempunyai biaya untuk melanjutkannya.
Jaringan Sosial keluarga
1. Pelanggan : pelanggan dari ibu keluarga yang biasa dipijit atau luluran. Pelanggan ini sering memberikan bantuan, baik berupa makanan, pakaian dan uang. Ibu keluarga sering diminta untuk membantu memasak dan sepulangnya kerumah membawa makanan. Dan bahkan hingga saat ini ada satu ibu yang biasa membantu dengan memberi beras, dan bila tiba bulan puasa memberi uang untuk membeli pakain anak-anak.
2. Orang tua : dengan orang tua hubungan mereka juga sangat dekat, namun mereka juga adalah keluarga tidak mampu, sehingga tidak dapat membantu keluarga bila ada kesulitan.
3. Paman : hubungan keluarga ini dengan paman dari pak Adi sangat dekat, saat ini anak-anak tidur di rumah paman tersebut karena tidak memungkinkan untuk mereka tidur bersama. Namun keluarga paman tersebut juga tergolong keluarga tidak mampu.
4. Ibu-ibu pengajian : ibu - ibu pengajian sering memberi perhatian dan memberi dukungan jika keluarga mengalami kesulitan.
5. Saudara : hubungan keluarga dengan saudara baik, akan tetapi jarang berhubungan satu sama lain, hanya jika ada acara-acar tertentu.
6. Tetangga : hubungan keluarga dengan tetangga baik, namun jarang membantu secara materi keluarga bila ada kesulitan.
7. Majikan : yaitu majikan dari pak Adi yaitu yang memberi pekerjaan kepada pak Adul
8. RT : Keluarga berhubungan dengan RT jika ada hal –hal yang perlu seperti mengurus surat-surat keperluan keluarga.
9. RW : Keluarga berhubungan dengan RT jika ada hal –hal yang perlu seperti mengurus surat-surat keperluan keluarga.
10. Sekolah, keluarga berhubungan dengan sekolah berkaitan dengan kebutuhan anak di sekolah.
11. Puskesmas : puskesmas tempat berobat jika ada anggota keluarga yang sakit.