Selasa, 23 Maret 2010

PENANGANAN KEMISKINAN BERDASARKAN PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL

Latar Belakang
Kemiskinan merupakan masalah utama yang dihadapi oleh setiap negara khususnya Indonesia. Kemiskinan di Indonesia secara klasifikasi tersebar di tiga wilayah, yaitu perkotaan, perdesaan dan pesisir. Kemiskinan di Indonesia dari data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru tahun 2006, mencapai 60 juta jiwa dari total penduduk atau sekitar 25 persen. Dengan asumsi pendapatan perbulan hanya RP 150 ribu perbulan. Padahal standar Bank Dunia orang miskin memiliki pendapatan US$2 perkapita per hari. Maka jika standar ini digunakan maka jumlah keluarga miskin di Indonesia lebih fantastik lagi. Kemiskinan sebuah kondisi kekurangan yang dialami seseorang atau suatu keluarga. Kemiskinan telah menjadi masalah yang kronis karena berkaitan dengan kesenjangan dan pengangguran.
Walaupun kemiskinan dapat dikategorikan sebagai persoalan klasik, tetapi sampai saat ini belum ditemukan strategi yang tepat untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan merumuskan kebijakan anti kemiskinan, sementara jumlah penduduk miskin tiap tahunnya meningkat. Ketidakberhasilan itu kiranya bersumber dari cara pemahaman dan penanggulangan kemiskinan yang selalu diartikan sebagai sebuah kondisi ekonomi semata-mata. Sedikit dari para ahli pembangunan yang memahami bahwa problema kemiskinan juga bersumber dari tata politik yang timpang.
Mengatasi kemiskinan pada hakekatnya merupakan upaya memberdayakan orang miskin untuk dapat mandiri, baik dalam pengertian ekonomi, budaya dan politik. Penanggulangan kemiskinan tidak hanya dengan pemberdayaan ekonomi, akan tetapi juga dengan pemberdayaan politik bagi lapisan miskin merupakan sesuatu yang tidak dapat terelakkan kalau pemerataan ekonomi dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan sosial seperti yang dikehendaki.
Pekerjaan sosial sebagai profesi utama dalam usaha kesejahteraan sosial memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengatasi masalah kemiskinan. Tugas dan tanggung jawab pekerjaan sosial adalah memperbaiki dan meningkatkan kemampuan masyarakat miskin, agar mereka dapat berfungsi sosial atau dapat menjalankan tugas-tugas kehidupannya dengan baik, yakni tugas dalam memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Selain itu, pekerjaan sosial juga memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan situasi-situasi sosial yang kondusif bagi kehidupan mereka. Situasi-situasi sosial yang dimaksud adalah terciptanya peluang dan kesempatan usaha, terbukanya akses dan jaringan usaha/kerja, adanya jaminan usaha dan informasi pasar.

B. Defenisi Kemiskinan
Kemiskinan memiliki defenisi berbeda bergantung pada cara pandang dan indikatornya. Secara tradisional kemiskinan sering dipandang sebagai ketidakmampuan orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling mendasar. Ketidakmampuan ini terjadi baik karena faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kondisi diri orang tersebut, sedangkan faktor eksternal berhubungan dengan hal-hal di luar diri orang miskin.
Kemiskinan tidak hanya dipahami sebagai ketidakmampuan ekonomi tetapi juga kegagalan dalam pemenuhan hak-hak dasar manusia untuk dapat hidup layak dan bermartabat. Dari perspektif manapun kita melihat kemiskinan, satu hal yang harus disadari adalah bahwa kemiskinan merupakan fenomena multidimensi. Kemiskinan bukan hanya soal ekonomi, tetapi menyangkut kehidupan orang dengan mata pencahariannya (internal) dan sistem di luar dirinya (eksternal) yang menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Maka ketika kita akan melakukan pertolongan bagi orang miskin, semua aspek kehidupan mereka harus disentuh mulai dari aspek personal hingga aspek global, mulai dari dimensi ekonomi hingga dimensi politik, sosial, teknologi serta psikologi. Dengan demikian, uang saja tidak cukup untuk menghapuskan kemiskinan. Diperlukan upaya lebih besar yang menyangkut aspek lain dalam kahidupan seperti kesehatan, pendidikan, kemandirian, pengembangan jaringan, penguatan jaringan dan lain-lain.
Pendekatan kebutuhan dasar melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum antara lain kebutuhan pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Joseph F. Stepanek, (ed), 1985).
Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya. Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan dipandang sebagai suatu peristiwa penolakan dan tidak terpenuhinya hak. Konsep ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, konsep ini memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghargai, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin tersebut.
Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. World Bank (2008) membagi dimensi kemiskinan ke dalam empat hal pokok, yaitu lack of opportunity, low capabilities, low level security, dan low capacity. Kemiskinan dikaitkan juga dengan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik sehingga menyebabkan kerentanan, keterpurukan, dan ketidakberdayaan. Meskipun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan, yang semuanya berada dalam lingkungan dimensi ekonomi.
Kemiskinan menurut Suparlan (1995) didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Ellis (1984:242-245) menyatakan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumber daya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.

C. Faktor Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor. Jarang ditemukan kemiskinan yang hanya disebakan oleh faktor tunggal. Seseorang atau keluarga miskin bisa disebakan oleh beberapa faktor yang saling terkait satu sama lain, seperti mengalami kecacatan, memiliki pendidikan rendah, tidak memiliki modal atau keterampilan untuk berusaha, tidak tersedianya kesempatan kerja, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), tidak adanya jaminan sosial (pensiun, kesehatan, kematian), atau hidup di lokasi terpencil dengan sumberdaya alam dan infrastruktur yang terbatas. Menurut Suharto, (2009:17-18), secara konseptual, kemiskinan bisa diakibatkan oleh empat faktor, yaitu :
1. Faktor individual. Terkait dengan aspek patologis, termasuk kondisi fisik dan psikologis si miskin. Orang miskin disebabkan oleh perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam menghadapi kehidupannya.
2. Faktor sosial. Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin. Misalnya, diskriminasi berdasarkan usia, jender, etnis yang menyebabkan seseorang menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini adalah kondisi sosial dan ekonomi keluarga si miskin yang biasanya menyebabkan kemiskinan antar generasi.
3. Faktor kultural. Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjuk pada konsep “kemiskinan kultural” atau “budaya kemiskinan” yang menggabungkan kemiskinan dengan kebiasaan hidup atau mentalitas. Penelitian Oscar Lewis di Amrika Latin menemukan bahwa orang miskin memiliki sub-kultur atau kebiasaan tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan (Suharto, 2008b). Sikap-sikap “negatif seperti malas, fatalisme atau menyerah pada nasib, tidak memiliki jiwa wirausaha, dan kurang menghirmati etos kerja, misalnya sering ditemukan pada orang-orang miskin.
4. Faktor struktural. Menunjuk pada struktur atau sistem yang tidak adil, tidak sensitif dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompo orang menjadi miskin. Sebagai contoh, sisten ekonomi neoliberalisme yang diterapkan di Indonesia telah menyebabkan para petani, nelayan, dan pekerja sektor informal terjerat oleh, dan sulit keluar dari kemiskinan. Sebaliknya. Stimulus ekonomi, pajak dan ilklim investasi lebih menhuntungkan orang kaya dan pemodal asing untuk terus menumpuk kekayaan.
Menurut Bagong dan Karnaji (2005:7) akar penyebab masalah kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu:
a. Kemiskinan alamiah, yakni kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber-sumber daya yang langka jumlahnya dan atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Artinya faktor-faktor yang menyebabkan suatu masyarakat menjadi miskin adalah secara alami memang ada, dan bukan bahwa akan ada kelompok atau individu di dalam masyarakat tersebut yang lebih miskin dari yang lain. mungkin saja dalam keadaan kemiskinan alamiah tersebut akan terdapat perbedaan-perbedaan kekayaan, tetapi dampak perbedaan tersebut akan memperlunak atau dieliminasi oleh adanya pranata-pranata tradisional, seperti pola hubungan patron client, jiwa gotong royong, dan sejenisnya fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial.
b. Kemiskinan buatan, yakni kemiskinan yang terjadi karena sturktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Dengan demikian sebagian anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakt tersebut bila di bagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan. Dari uraian ini maka dapat disederhanakan, yang menekankan bahwa penyebab kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi internal factor dan external faktor.

D. Indikator Kemiskinan
Indikator nasional dalam menghitung jumlah yang dikategorikan miskin ditentukan oleh standard garis kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pengukuran kemiskinan dilakukan dengan cara menetapkan nilai standard kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat hidup secara layak. Penetapan nilai standard minimum ini digunakan untuk membedakan antara penduduk miskin dan tidak miskin.
Menurut BPS (1999) menggambarkan bahwa apabila penduduk dalam pengeluaran tidak mampu memenuhi kecukupan konsumsi makanan setara 2100 kalori per hari ditambah pemenuhan kebutuhan pokok minimum non makanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan dasar, pendidikan dasar, transportasi dan aneka barang/jasa lainnya. Maka dapat dikategorikan miskin. Sementara itu, penduduk yang tidak mampu memenuhi kecukupan konsumsi makanan setara 1800 kalori per hari dikategorikan fakir miskin.
Garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Seperti menurut Indonesian Nutrition Network (INN) (2003:2), ukuran kemiskinan untuk perkotaan dan pedesaan dibedakan dalam besarnya pendapatan yang diperoleh dalam bentuk uang sebagai berikut, Rp. 96.956 untuk perkotaan dan Rp. 72.780 untuk pedesaan. Kemudian Departemen Sosial menyebutkan berdasarkan indikator BPS, garis kemiskinan yang diterapkannya adalan keluarga yang memiliki penghasilan di bawah Rp. 150.000 per bulan. Bahkan Bappenas mendasarkan pada indikator BPS tahun 2005, bahwa batas kemiskinan keluarga adalah yang memiliki penghasilan di bawah Rp. 180.000 per bulan.
Dalam penanggulangan masalah kemiskinan melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT), BPS menetapkan 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin yaitu :
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m² per orang
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/rumbia/kayu murahan
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa plester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayamsatu kali dalam seminggu
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik
12. Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nalayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan
13. Pendidikan tertinggi kepala keluarga rumah tangga; tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp.500.000, seperti motor (kredit/non kredit) emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya
Secara umum, indikator kemiskinan dapat dilihat sebagai berikut :
1. Penghasilan rendah, atau berada dibawah garis kemiskinan yang dapat diukur dari tingkat pengeluaran perorangan per bulan berdasarkan standard BPS perwilayah provinsi dan kabupaten/kota.
2. Ketergantungan pada bantuan pangan kemiskinan (zakat/raskin/santunan sosial)
3. Keterbatasan kepemilikan pakaian yang cukup setiap anggota keliuarga per tahun (hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap per orang per tahun).
4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit.
5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya.
6. Tidak memiliki harta benda yang dapat dijual untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas garis kemiskinan.
7. Tinggal dirumah tidak layak huni
8. Kesuliatan memperoleh air bersih

E. Pekerjaan Sosial dan Kemiskinan
Pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok, dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut (Zastrow, 1985 dalam Huraerah A, 2006). Dari defenisi ini dapat diketahui bahwa fokus utama pekerjaan sosial adalah pada peningkatan keberfungsian sosial (social fungtioning) orang-orang di dalam situasi-situasi sosial mereka. Pekerjaan sosial merupakan aktivitas kemanusiaan yang sejak kelahirannya sekian abad yang lalu, telah memiliki perhatian yang mendalam pada pengembangan masyarakat miskin.
Dalam perspektif profesi pekerjaan sosial, orang miskin adalah orang yang mengalami disfungsi sosial, karena ia tidak mampu melakukan tugas pokoknya dengan baik, yaitu tugas dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan.
Dalam konteks ini, pendekatan pekerjaan sosial dalam menangani masalah kemiskinan tidak hanya diarahkan kepada si klien (masyarakat miskin), tetapi juga ditujukan kepada situasi-situasi sosial yang mempengaruhi kehidupan mereka. Hal tersebut didasari oleh pendekatan pekerjaan sosial yang senantiasa berorientasi pada sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya (person-in-enviranment dan person-in-situation).
Keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi pekerja sosial karena merupakan pembeda antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya. Oleh karena itu, pendekatan pekerjaan sosial dalam menangani kemiskinan juga pada dasarnya harus diarahkan untuk meningkatkan keberfungsian sosial (social functioning) masyarakat miskin yang dibantu. Keberfungsian sosial seseorang secara sederhana dapat didefenisikan sebagai kemampuan seseorang dalam melaksanakan fungsi sosialnya atau kapasitas seseorang dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan status sosialnya.
Konsep keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa klien adalah subyek pembangunan; bahwa klien memiliki kapabilitas dan potensi yang dikembangkan dalam proses pertolongan, bahwa klien memiliki dan atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada disekitarnya.
Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan individual-struktural (Suharto, 2005). Berdasarkan perspektif ini, ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:
1. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
2. Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta hurup,).
3. Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahhkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.

F. Peranan Pekerja Sosial
Peranan merupakan cara yang dilakukan oleh seseorang untuk menggunakan kemampuannya dalam situasi tertentu. Sebagaimana Soetarso dala Huraira (2008) menegaskan bahwa peranan dalam profesi apapun tidak ditentukan dalam kevakuman, melainkan terkait dengan aneka ragam variabel. Peranan juga tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan peranan-peranan lain. Dengan demikian peranan bersiat dinamis dan interaksional, dalam pengertian dapat berubah sesuai variabel dan peranan-peranan lain yang dilaksanakan oleh pekerja sosial.
Dalam proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan bagi miskin, Schwartz dalam Suharto (2009), mengemukakan 5 (lima) tugas yang dapat dilaksanakan oleh pekerja sosial :
1. Mencari persamaan mendasar antara persepsi masyarakat mengenai kebutuhan mereka sendiri dan aspek-aspek tuntutan sosial yang dihadapi mereka.
2. Mendeteksi dan menghadapi kesulitan-kesulitan yang menghambat banyak orang dan membuat frustrasi usaha-usaha orang untuk mengidentifikasi kepentingan mereka dan kepentingan orang-orang yang berpengaruh (significant others) terhadap mereka.
3. Memberi kontribusi data mengenai ide-ide, fakta, nilai, konsep yang tidak dimiliki oleh masyarakat, tetapi bermanfaat bagi mereka dalam menghadapi realitas sosial dan masalah yanh dihadapi mereka.
4. Membagi visi kepada masyarakat; harapan dan aspirasi pekerja sosial merupakan investasi bagi interaksi antara orang dan masyarakat bagi kesejahteraan individu dan sosial.
5. Mendefenisikan syarat-syarat dan batasan-batasan situasi dengan mana sistem relasi antara pekerja sosial dan masyarakat dibentuk. Aturan-aturan tersebut membentuk konteks bagi ’kontrak kerja’ yang mengikat masyarakat dan lembaga. Batasan-batasan tersebut juga mampu menciptakan kondisi yang dapat membuat masyarakat dan pekerja sosial menjalankan fungsi masing-masing.
Sebagaimana Charles Zastrow (Huraira:2008), ada beberapa peranan yang dilakukan petugas pengembangan masyarakat/pekerja masyarakat (community worker/community organizer) anatara lain, yaitu:
• Enabler. Peranan sebagai enabler adalah membantu masyarakat agar dapat mengartikulasikan atau mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan mereka, menjelaskan dan mengidentifikasi masalah-masalah mereka, dan mengembangkan kemampuan mereka agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara lebih efektif. Peranan sebagi enabler ini adalah peranan klasik atau peranan tradisional (the classic or traditional role) dari seseorang commutity organizer / community worker. Fokusnya adalah menolong masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri (to help people help themselves). Ada empat fungsi utama seorang CO/CD, yaitu:
- Membantu membangkitkan kesadaran masyarakat
- Mendorong dan mengembangkan pengorganisasiandalam masyarakat
- Memelihara relasi interpersonal yang baik
- Dan memfasilitasi perencanaan yang efektif
• Broker. Peranan seorang broker adalah menghubungkan individu-individu dan kelompok yng membutuhkan pertolongan dengan pelayanan masyarakat. Peranan ini dilakukan oleh seorang broker karena individu atau kelompok tersebut kerapkali tidak mengetahui di mana dan bagaimana mendapatkan pertolongan tersebut.
• Expert. Sebagai seorang expert, ia berperan menyediakan informasi dan memberikan saran-saran dalam berbagai area. Misalnya, seorang expert menyarankan tentang bagaimana struktur organisasi dapat dikembangkan dalam masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat mana saja yang harus terwakili.
• Social Planner. Sebagai seorang social planner berperan mengumpulkan fakta-fakta tersebut serta menyusun alternatif tindakan yang rasional dalam menangani masalah tersebut. Kemudian, mengembangkan program, mencari alternatif sumber pendanaan dan mengembangkan konsensus dalam kelompok yang mempunyai berbagai minat dan kepentingan.
• Advocate. Peranan ini adalah peranan yang aktif dan terarah, dimana community organizer/community worker melaksanakan fungsinya sebagai advocate yang mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan pertolongan ataupun pelayanan, tetapi institusi yang seharusnya memberikan pertolongan tersebut tidak memperdulikan ataupun menolak tuntutan masyarakat.
• The Activist. Sebagai seorang activist, ia senantiasa melakukann perubahan yang mendasar dan sering kali tujuannnya adalah pengalihan sumber daya ataupun kekuasaan pada kelompok masayarakat yang tidak beruntung (disadventage group). Seorang activist menugusung tema-tema atau isu-isu tertentu, misalnya ketidaksesuaian dengan hukum yang berlaku, ketidakadilan, dan permapasan hak. Taktik yang dilakukan adalah melalui konflik, konfrontasi dan negosiasi.
Ada beberapa peran yang dapat dilakukan dalam praktik CO/CD, yaitu:
• Peranan-peranan fasilitator (facilitative roles) meliputi peranan: animasi sosial (social animation), mediasi dan negosiasi (mediation and negotiation), dukungan (support), pembentukan konsensus (building consensus), fasilitasi kelompok (group facilitation), pemanfaatan sumber daya dan keterampilan (utilisation of skill and resources), pengorganisasian (organizing), dan komunikasi personal (perconal communication).
• Peranan-peranan pendidikan (educational roles) terdiri dari peranan : peningkatan kesadaran (conscionsness raising), penyampaian informasi (informing), pengkonfrontasian (confrontation), dan pelatihan (training).
• Peranan-peranan representasional (reprensentational roles), mencakup peranan : mendapatkan sumber (obtaining resources), advokasi (advocacy), pemanfaatan media (using the media), dan hubungan masyarakat (publik relations), jaringan kerja (networking), dan berbagai pengetahuan dan keterampilan (sharing knowledge and experince).
• Peranan-peranan teknis (technical roles), meliputi peranan : penelitian (research), penggunaan komputer (using computers), presentase verbal dan tertulis (verbal and written presentation), manajemen (management) dan pengawasan finansial.

G. Strategi mengatasi kemiskinan
Dalam perspektif profesi pekerjaan sosial, orang miskin adalah orang yang mengalami disfungsi sosial. Karena ia tidak mampu melakukan tugas pokoknya dengan baik, yaitu tugas dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, seperti: pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan. Ketidakmampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya itu sangat berkaitan dengan faktor produksi. Mereka pada umumnya tidak memiliki faktor produksi yang mencakup seperti tanah, modal, atau keterampilan hidup (life skill). Tingkat pendidikan mereka rendah, hanya tamatan sekolah dasar, bahkan tidak sedikit pula yang tidak tamat sekolah dasar. Selain mempunyai keterbatasan dalam faktor kepemilikan tersebut, orang miskin juga lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatasi akses ekonominya, sehingga semakin tertinggal jauh dari kelompok masyarakat lain yang mempunyai potensi tinggi.
Untuk penanganan masalah kemiskinan, strategi yang dapat dilakukan adalah:
1. Karena kemiskinan bersifat multidimensional, program pengentasan kemiskinan seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi tetapi juga memperhatikan dimensi lain. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapat prioritas, namun juga harus mengejar target mengatasi kemiskinan non ekonomik. Oleh karena itu, strategi pengentasan kemiskinan hendaknya juga diarahkan untuk mengikis nilai-nilai budaya negatif seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan sebagainya. Apabila budaya ini tidak dihilangkan, kemiskinan ekonomi akan sulit untuk ditanggulangi. Selain itu, langkah pengentasan kemiskinan yang efektif harus pula mengatasi hambatan-hambatan yang bersifat struktural dan politis.
2. Untuk meningkatkan kemampuan dan mendorong produktivitas, strategi yang dipilih adalah peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan kesehatan dan pendidikan, peningkatan keterampilan usaha, teknologi, perluasan jaringan kerja (networking) serta informasi pasar.
3. Melibatkan masyarakat miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, bahkan pada proses pengambilan keputusan.
4. Strategi pemberdayaan. Dalam kaitan ini, Ginandjar Kartasasmita menyatakan, upaya memberdayakan masyarakat setidak-tidaknya harus dilakukan melalui tiga cara, yaitu :
(1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang dengan titik tolak setiap manusia atau masyarakat memiliki potensi (daya) yang bisa dikembangkan
(2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(3) Memberdayakan pula mengandung arti melindungi. Artinya, proses pemberdayaan harus mengantisipasi terjadinya yang lemah menjadi makin lemah.
Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi penanganan kemiskinan oleh pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi wajah, maka intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Prinsip ini dikenal dengan pendekatan “person-in-environment dan person-in situation”. Selain itu, motto pekerjaan sosial seperti “to help people to help themselves” (menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri), “self determination” (penentuan nasib sendiri) dan “working with people, not working for people” (bekerja dengan masyarakat bukan bekerja untuk masyarakat) menunjukkan betapa pekerjaan sosial memiliki komitmen yang kuat terhadap pemberdayaan masyarakat, di antaranya adalah kemiskinan.
Pengembangan Masyarakat memiliki sejarah panjang dalam literatur dan praktek pekerjaan sosial (Payne, 1995; Suharto, 2009). Menurut Johnson (1984), pengembangan masyarakat merupakan spesilaisasi atau setting praktek pekerjaan sosial yang bersifat makro (macro practice). Pengembangan masyarakat tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial. Sebagai sebuah metode pekerjaan sosial, Pengembangan Masyarakat menunjuk pada interaksi aktif antara pekerja sosial dan masyarakat dengan mana mereka terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi suatu program pembangunan kesejahteraan sosial atau usaha kesejahteraan sosial.
Menurut Jack Rothman dalam Suharto (2009: 42-47) ada tiga model dalam pengembangan masyarakat yaitu :
1. Pengembangan masyarakat lokal (locality development), yaitu proses yang ditujukan untuk menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif angota masyarakat itu sendiri. Anggota masyarakat dipandang bukan sebagai sistem klien yang bermasalah melainkan sebagai masyarakat yang unik dan memiliki potensi, hanya saja potensi tersebut belum sepenuhnya dikembangkan. Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada “tujuan proses” (process goal).
2. Perencanaan sosial (social planning), menunjuk pada proses pragmatis untuk menentukan keputusan dan menetapkan tindakan dalam memecahkan masalah sosial tertentu seperti kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, dll. Perencanaan sosial berorientasi pada “tujuan tugas” (task goal).
3. Aksi sosial (social action). Tujuan dan sasaran utama aksi sosial adalah perubahan-perubahan fundamental dalam kelembagaan dan struktur masyarakat melalui proses pendistribusian kekuasaan (distribution of power), sumber (distribution resources) dan pengambilan keputusan (distribution of decision making). Pendekatan aksi sosial didasari suatu pandangan bahwa masyarakat adalah sistem klien yang seringkali menjadi ‘korban’ ketidakadilan struktur. Mereka miskin karena dimiskinkan, mereka lemah karena dilemahkan, dan tidak berdaya karena tidak diberdayakan, oleh kelompok elit masyarakat yang menguasai sumber-sumber ekonomi, politik dan kemasyarakatan. Model ini berorientasi baik pada tujuan proses dan tujuan hasil.
Pekerjaan sosial dengan satu diantara metodenya, yaitu community development/community organization adalah metode yang dapat dilakukan untuk membangun masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup anggota masayarakat sendiri serta untuk memperbaiki kualitas hidup masayarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial, dengan menggunakan alat yaitu Participatory Rural Appraisal (PRA) yang merupakan metode yang terfokus pada proses pertukaran informasi antara pekerja sosial dengan masyarakat dan Methode Of Participation Assessment (MPA).
Masyarakat terlibat secara aktif dalam mengelolah dan mengorganisasikan segala potensi yan g mereka miliki sehingga pada tahap tertentu, barbagai aktivitas tersebut membutuhkan pelembagaab dalam institusi yanmg lebih formal. Bekerja bersama masyarakat (working with people) dan menolong masyarakat untuk menolong dirinya sendiri adalah prinsip utama dalam penerapan metode Community Development. Sebagaimana dalam Huraira (Huraira : 2008), strategi-strategi yang digunakan dalam metode community development, sebagai upaya peningkatan dan pengembangan kapasitas masyarakat miskin tersebut adalah sebagai berikut:
1. Strategi pemecahan masalah, dimaksudkan untuk mengajak warga masyarakat miskin melihat dan menyadari permasalahan yang dihadapi, kemudian mendiskusikan bersama bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. Teknik motivating dan supporting bisa digunakan untuk membangkitkan kepercayaan diri (self-relience) mereka, sebagai unsur penting yang harus dikembangkan dalam meminimalisasi dampak negarif budaya kemiskinan.
2. Konfrontasi, merupakan strategi mengonfrontasikan masyarakat miskin dengan permasalahan yang dihadapi. Strategi ini dimaksudkan untuk dapat menimbulkan kesadaran, menggalang persatuan, dan kekuatan mereka untuk bertindak dalam menangani masalah tersebut.
3. Membangun kelembagaan baru, yaitu membangun lembaga-lembaga dalam masyarakat dengan menggunakan sumber daya masyarakat setempat, dimana masyarakat miskin diitegrasikan kedalam lembaga tersebut. Lembaga-lembaga yang berkaitan dengan peningkatan pendapatan masyarakat miskin senantiasa ditumbuhkembangkan, misalnya: lembaga ekonomi prduktif (LEP), kelompok usaha bersama (KUBE), wira usaha baru (WUB), pemberdayaan ekonomi kecil, koperasi, baitul maal, dan lain-lain. Jika dilingkungan masyarakat sudah ada lembaga tetapi tidak berfungsi, maka yang harus dilakukan adalah bagaimana mengaktifkan kembali lembaga tersebut.
4. Pengembangan dan peningkatan keterampilan hidup (life skill), dengan mengajarkan cara-cara atau alat-alat dalam perubahan ya ng direncanakan.
5. Terapi pendidikan, yaitu strategi untuk mengikutsertakan masyarakat miskin dalam suatu program penanggulangan kemiskinan, biasanya dalam bentuk latihan-latihan, saling bekerja sama secara demokratis, dan belajar untuk menilai dan menghargai kerjasama tersebut. Strategi ini akan memperkuat pemerintah pada tingkat lokal, mendorong proses pembangunan serta menimbulkan perasaan sebagai anggota masyarakat dalam satu kesatuan.
Strategi penanganan kemiskinan pekerjaan sosial yang senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungannya dianalogikan dengan strategi pemberian ikan dan kail, maka strategi pengentasan kemiskinan tidak hanya bermatra individual, yakni dengan memberi ikan; dan memberi kail kepada si miskin. Lebih jauh lagi, pekerja sosial berupaya untuk mengubah struktur-struktur sosial yang tidak adil, dengan:
1. Memberi keterampilan memancing;
2. Menghilangkan dominasi kepemilikan kolam ikan oleh kelompok-kelompok elit; dan
3. Mengusahakan perluasan akses pemasaran bagi penjualan ikan hasil memancing tersebut.
Berdasarkan analogi tersebut, maka ada dua pendekatan pekerjaan sosial yang satu sama lain saling terkait, yaitu :
1. Pendekatan pertama melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan di mana si miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer group), maupun masyarakat.
2. Pendekatan kedua melihat si miskin dalam konteks situasinya, strategi pekerjaan sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan self-determinism yang melihat si miskin dalam secara individual yang memiliki masalah dan kemampuan unik. Program anti kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan dengan kejadian-kejadian dan/ atau masalah-masalah yang dihadapinya.
Beberapa bentuk program penanganan kemiskinan yang didasari dua pendekatan ini antara lain:
1. Pemberian bantuan sosial dan rehabilitasi sosial yanmg diselenggarakan oleh panti-panti sosial.
2. Program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial.
3. Program pemberdayaan masyarakat yang meliputi pembeian modal usaha, pelatihan usaha ekonomi produktif, pembentukan pasar sosial dan koperasi, pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja.
4. Program kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban bencana alam.
5. Program “penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline Moser disebut sebagai “the missing piece strategy” ini meliputi program-program yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit, pembentukan kelompok usaha bersama (KUBE), bantuan stimulan untuk usaha-usaha ekonomis produktif skala mikro.

H. Penutup
Masalah kemiskinan merupakan permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia dan merupakan masalah yang kompleks, sehingga membutuhkan keterlibatan berbagai pihak dalam penanganannya. Masalah ini dari dahulu sampai sekarang tetap menjadi isu sentral di Indonesia.
Pekerjaan sosial merupakan profesi utama dalam bidang kesejahteraan sosial juga mempunyai tanggung jawab dalam penanganan permasalahan kemiskinan tersebut. Dalam penanganan masalah kemiskinan profesi pekerjaan sosial berfokus pada peningkatan keberfungsian sosial si miskin. Sebagaimana halnya profesi kedokteran berkaitan dengan konsepsi kesehatan, psikolog dengan konsepsi perilaku adekwat, guru dengan konsepsi pendidikan, dan pengacara dengan konsepsi keadilan, maka keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi pekerjaan sosial. Keberfungsian sosial yang dimaksud adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan fungsi sosialnya atau kapasitas seseorang dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan status sosialnya.
Dalam penanganan masalah kemiskinan berdasarkan perspektif pekerjaan sosial yang berfokus pada peningkatan keberfungsian sosial, senantiasa melihat keluarga miskin dengan lingkungannya yang berarti penanganan masalah tidak hanya pada terpusat pada individu atau keluarga.














DAFTAR PUSTAKA

Huraira, (2006). Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat, Humaniora. Bandung
Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial (2006), Kemiskinan Dalam Perspektif Pekerjaan Sosial, Instalasi Penerbitan STKS Press, Bandung
Suyanto,B. & Karnaji, (2005), Kemiskinan Dan Kesenjangan Sosial; Ketika Pembangunan Tak Berpihak Kepada Rakyat, Surabaya, Airlangga University Press
Suharto, Edi, (2009), Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat; Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama

Non Buku
Pascasarjana Sp.1 STKS Bandung, 2009. Materi Perkuliahan Pendekatan dan Teknologi Pekerjaan Sosial Komunitas, Bandung. 2009

1 komentar:

  1. Terima kasih informasinya.. moga tambah keren aja.. bravo Sp-1

    BalasHapus