Minggu, 28 Februari 2010

KEMISKINAN DALAM PANDANGAN PEKERJAAN SOSIAL

A. Pendahuluan
Kemiskinan merupakan kajian yang tidak habis untuk dibahas karena salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kemiskinan selalu menjadi topik menarik dalam berbagai diskusi kajian akademis maupun praktis bahkan menjadi bahasan politis baik ditingkat lokal, regional, nasional bahkan internasional. Kemiskinan merupakan konsep dan fenomena yang berwayuh wajah, bermatra multi dimensial (Suharto 2009). Pembahasan selalu terfokus bagaimana memahami konsep kemiskinan itu dan bagaimana menurunkan angka-angka kemiskinan dengan berbagai indikatornya.
Kondisi kesejahteraan sosial dewasa ini dibuktikan dengan tingginya angka kemiskinan, angka pengangguran, angka putus sekolah dan meningkatnya jumlah anak kekurangan gizi. Bahkan saat ini kondisi kemiskinan sangat memprihatinkan, dimana telah terjadi hal-hal yang sangat tidak manusiawi seperti maraknya penjualan bayi bahkan penjualan janin yang semuanya disebabkan oleh tekanan ekonomi atau kemiskinan.
Keberhasilan program penanggulangan kemiskinan sangat ditentukan oleh desain program yang mampu mendorong meningkatnya keberdayaan masyarakat. Hingga saat ini belum ditemukan suatu rumusan maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan sempurna. Tidak ada konsep tunggal tentang kemiskinan yang dapat digunakan untuk menurunkan angka kemiskinan, sehingga strategi penanganan kemiskinan masih harus terus menerus dikembangkan (Suharto, 2009,138). Untuk itu peran pekerja sosial menjadi penting dalam mengembangkan metode praktek yang sesuai.


B. Kemiskinan
Kemiskinan memiliki defenisi berbeda bergantung pada cara pandang dan indikatornya. Secara tradisional kemiskinan sering dipandang sebagai ketidakmampuan orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling mendasar. Ketidakmampuan ini terjadi baik karena faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kondisi diri orang tersebut, sedangkan faktor eksternal berhubungan dengan hal-hal di luar diri orang miskin.
Kemiskinan tidak hanya dipahami sebagai ketidakmampuan ekonomi tetapi juga kegagalan dalam pemenuhan hak-hak dasar manusia untuk dapat hidup layak dan bermartabat. Dari perspektif manapun kita melihat kemiskinan, satu hal yang harus disadari adalah bahwa kemiskinan merupakan fenomena multidimensi. Kemiskinan bukan hanya soal ekonomi, tetapi menyangkut kehidupan orang dengan mata pencahariannya (internal) dan sistem di luar dirinya (eksternal) yang menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Maka ketika kita akan melakukan pertolongan bagi orang miskin, semua aspek kehidupan mereka harus disentuh mulai dari aspek personal hingga aspek global, mulai dari dimensi ekonomi hingga dimensi politik, sosial, teknologi serta psikologi. Dengan demikian, uang saja tidak cukup untuk menghapuskan kemiskinan. Diperlukan upaya lebih besar yang menyangkut aspek lain dalam kahidupan seperti kesehatan, pendidikan, kemandirian, pengembangan jaringan, penguatan jaringan dan lain-lain.
Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya. Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan dipandang sebagai suatu peristiwa penolakan dan tidak terpenuhinya hak. Konsep ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, konsep ini memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghargai, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin tersebut.
Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. World Bank (2008) membagi dimensi kemiskinan ke dalam empat hal pokok, yaitu lack of opportunity, low capabilities, low level security, dan low capacity. Kemiskinan dikaitkan juga dengan keterbatasan hak-hak social, ekonomi, dan politik sehingga menyebabkan kerentanan, keterpurukkan, dan ketidakberdayaan. Meskipun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan, yang semuanya berada dalam lingkungan dimensi ekonomi.
Kemiskinan menurut Suparlan (1995) didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Ellis (1984:242-245) menyatakan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumber daya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.
Kemiskinan merupakan konsep dan fenomena yang berwayuh wajah, bermatra multidimensional. SMERU, misalnya, menunjukkan bahwa kemiskinan memiliki beberapa ciri (Suharto et.al., 2004:7-8):
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan).
2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga)manusia dan keterbatasan sumber alam.
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal
5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam.
6. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat
7. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan
8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).

Kemiskinan terjadi sepanjang sejarah kehidupan manusia, bahkan diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya sehingga menjadi siklus kemiskinan. Menurut Bagong dan Karnaji (2005:7) akar penyebab masalah kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu:
a. Kemiskinan alamiah, yakni kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber-sumber daya yang langka jumlahnya dan atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Artinya faktor-faktor yang menyebabkan suatu masyarakat menjadi miskin adalah secara alami memang ada, dan bukan bahwa akan ada kelompok atau individu di dalam masyarakat tersebut yang lebih miskin dari yang lain. mungkin saja dalam keadaan kemiskinan alamiah tersebut akan terdapat perbedaan-perbedaan kekayaan, tetapi dampak perbedaan tersebut akan memperlunak atau dieliminasi oleh adanya pranata-pranata tradisional, seperti pola hubungan patron client, jiwa gotong royong, dan sejenisnya fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial.
b. Kemiskinan buatan, yakni kemiskinan yangterjadi karena sturktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakt tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Dengan demikian sebagian anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakt tersebut bila di bagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan. Dari uraian ini maka dapat disederhanakan, yang menekankan bahwa penyebab kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi internal factor dan external faktor.

C. Pekerjaan Sosial dan kemiskinan
Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan individual-struktural (Suharto, 2005). Berdasarkan perspektif ini, ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:
1. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
2. Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta hurup,).
3. Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahhkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.
Pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok, dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut (Zastrow, 1985 dalam Huraerah A, 2006). Dari defenisi ini dapat diketahui bahwa fokus utama pekerjaan sosial adalah pada peningkatan keberfungsian sosial (social fungtioning) orang-orang di dalam situasi-situasi sosial mereka.
Keberfungsian sosial seseorang secara sederhana dapat didefenisikan sebagai kemampuan seseorang dalam melaksanakan fungsi sosialnya atau kapasitas seseorang dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan status sosialnya.
Dalam perpsektif profesi pekerjaan sosial, orang miskin adalah orang yang mengalami disfungsi sosial, karena ia tidak mampu melakukan tugas pokoknya dengan baik, yaitu tugas dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan.
Pekerjaan sosial sebagai profesi utama dalam usaha kesejahteraan sosial memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengatasi masalah kemiskinan. Tugas dan tanggung jawab pekerjaan sosial adalah memperbaiki dan meningkatkan kemampuan masyarakat miskin, agar mereka dapat berfungsi sosial atau dapat menjalankan tugas-tugas kehidupannya dengan baik, yakni tugas dalam memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Selain itu, pekerjaan sosial juga memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan situasi-situasi sosial yang kondisif bagi kehidupan mereka. Situasi-situasi sosial yang dimaksud adalah terciptanya peluang dan kesempatan usaha, terbukanya akses dan jaringan usaha/kerja, adanya jaminan usaha dan informasi pasar. Dalam konteks ini, pendekatan pekerjaan sosial dalam menangania masalah kemiskinan tidak hanya diarahkan kepoada si klien (masyarakat miskin), tetapi juga ditujukan kepada situasi-situasi sosial yang mempengaruhi kehidupan mereka. Hal tersebut didasari oleh pendekatan pekerjaan sosial yang senantiasa berorientasi pada sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya (person-in-enviranment dan person-in-situation).
Keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi pekerja sosial karena merupakan pembeda antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya. Oleh karena itu, pendekatan pekerjaan sosial dalam menangani kemiskinan juga pada dasarnya harus diarahkan untuk meningkatkan keberfungsian sosial (social functioning) masyarakat miskin yang dibantu.
Konsep keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa klien adalah subyek pembangunan; bahwa klien memiliki kapabilitas dan potensi yang dikembangkan dalam proses pertolongan, bahwa klien memiliki dan atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada disekitarnya.
Indonesia sebagai negara yang jumlah penduduk miskinnya masih besar membutuhkan peran profesi pekerja sosial untuk membantu mereka agar bisa keluar dari kondisi kemiskinannya. Peran pekerja sosial yang diharapkan adalah memperbaiki kesalahan cara pandang kemiskinan serta memperbaiki dan menyempurnakan program-program penanggulangan yang selama ini banyak mengalami kegagalan.
C. Penutup
Masalah kemiskinan merupakan permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia dan merupakan masalah yang kompleks, sehingga membutuhkan keterlibatan berbagai pihak dalam penanganannya. Masalah ini dari dahulu sampai sekarang tetap menjadi isu sentral di Indonesia.
Pengembangan masyarakat merupakan metode yang cukup efektif untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan atau paling tidak mencegah munculnya masalah-masalah turunan dari kemiskinan, seperti kekurangan gizi, putus sekolah, anak terlantar, prostitusi, kriminalitas dan laian-lain. Profesi pekerjaan sosial menjadi salah satu profesi yang dapat membantu guna peningkatan keberfungsian sosial si miskin ( individu maupun kelompok).




Daftar Pustaka

Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial (2006), Kemiskinan Dalam Perspektif Pekerjaan Sosial, Instalasi Penerbitan STKS Press, Bandung
Suharto, Edi, (2009), Kemiskinan & Perlindungan Sosial di Indonesia, Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan, Bandung: Alfabeta

1 komentar: